Rabu, 27 Juni 2012

Salah Kaprah

Sumber: Alissa Wahid

The residents of a small town built a new bridge. Then they decided that, if they had a new bridge, they’d better hire a watchman to keep an eye on it. So they did. Someone noted that the watchman needed a salary, so they hired an accountant. He in turn pointed out the need for a treasurer. With a watchman, an accountant, a treasurer, they had to have an administrator, so residents appointed one. Congress then voted a cut in funding, and personnel had to be cut back. So, they fired the watchman!

Kisah ini saya baca di buku Developing Leaders Around You (John C.Maxwell). Dan saya langsung teringat banyak hal di sekitar saya yang mencerminkan hal yang sama, bahkan Indonesia.

Sering sekali kita berangkat dari sebuah titik persoalan, bergerak menuju titik penyelesaian. Tetapi kemudian dalam perjalanan mengelola persoalan-persoalan itu, kita menemukan hal-hal yang menurut kita ‘harus’ kita lakukan  sebagai reaksi atas persoalan di perjalanan itu. Setiap persoalan membawa penyelesaian yang kemudian menjadi persoalan baru. Sayangnya jawaban terhadap persoalan baru malah semakin membuat kita menjauh dari persoalan intinya. Bahkan seringkali, inti persoalannya kemudian kita abaikan, kita buang, sementara kita ribut dengan masalah-masalah kembangkan yang sudah tak lagi menjawab inti persoalan.

Di Indonesia, kita banyak temui situasi ini; bahkan, sedihnya, di tingkat negara.

Kita ingat reaksi Presiden SBY terhadap kasus penyiksaan TKW di Arab Saudi. Alih-alih merespon inti persoalan yaitu penguatan kapasitas para TKW dan utamanya penguatan aturan-aturan di negara Indonesia dan perlindungan terhadap TKW, Presiden justru memberikan solusi membekali TKW dengan handphone. Tentu kemudian pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana nalarnya orang sedang disiksa bisa/sempat menelpon? bahkan asumsi yang lebih dasar adalah bahwa sang TKW harus mengalami penyiksaan baru fungsi handphone itu terjalankan. Waduh.

Lalu seorang Pejabat Negara yang mengatakan bahwa kalau sudah resiko orang Mentawai kena tsunami, seakan-akan itu adalah pilihan mudah. “Bila tidak ingin kena tsunami, jangan tinggal di pinggir pantai karena itulah resiko orang yang tinggal di tepi pantai”. Oalah pak, apakah tidak sadar bahwa di mana pun kita berada, resiko bencana alam itu sama besar? Tinggal di gunung, kena muntahan letusan. Tinggal di desa-kota, besar kemungkinan gempa atau banjir. Padahal, saya dan masyarakat Indonesia lainnya bekerja keras membanting tulang untuk membayar Anda memastikan bahwa faktor-faktor resiko sosial kami berkurang melalui pelayanan Pemerintah.

Belum lagi Mentri Agama yang tahun 2010 mengatakan bahwa memang sebaiknya kelompok minoritas tidak mendirikan tempat ibadah, karena harus menghargai kelompok mayoritas setempat. Masya Allah.. Berarti harus menjadi mayoritas dulu, baru bisa mendirikan tempat ibadah? Ini salah kaprah yang kebablasan, karena pemikiran ini membawa bibit segregasi masyarakat Indonesia. Lalu orang Islam hanya bisa mendirikan tempat ibadah di tempat orang Islam. Tidak bisa di Menado, di Bali, di Jayapura. Sebaliknya, orang Buddha, dimana mereka akan mendirikan tempat ibadah mereka? Harus bergerilya dulu untuk memBuddhakan sebuah komunitas, baru setelahnya bisa mendirikan vihara? Bukankah persoalan intinya adalah bagaimana Pemerintah bisa memfasilitasi tumbuhnya semangat kebhinnekaan sehingga setiap orang Indonesia dapat hidup bersama dengan orang Indonesia lainnya?

Lalu tentu saja yang terbaru dan paling mengkhawatirkan adalah tentang kerukunan antar umat beragama serta hak memilih dan menjalankan keyakinan bagi para Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Gubernur dan Bupati seakan berlomba membuat peraturan daerah untuk melarang kegiatan JAI dengan alasan beresiko menimbulkan kekerasan dan kerusuhan oleh kelompok radikal Muslim yang merasa JAI menistai keislaman mereka.

Bukannya menegakkan UUD 1945 yang mengamanatkan hak memeluk keyakinan sebagai hak dasar yang dijamin oleh negara, pengelola negara justru memilih untuk mencari solusi yang memicu persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dalam jangka panjang. Pengelola negara memilih jalan pintas, melupakan (atau memang tak punya kapasitas?) prinsip the longest distance between here and your goal is the shortcut.

Dan kita pun mulai mencatat, bagaimana pelanggaran demi pelanggaran hak asasi manusia semakin sering terjadi terhadap para Ahmadi akhir-akhir ini. Dengan tanpa rasa kemanusiaan, kuburan dibongkar dan sang jenazah diletakkan sembarangan di tanah kosong, atas nama rasa tidak terima. Dengan enteng, seorang Panglima Kodam bisa mengajak warga untuk menduduki masjid Ahmadiyah. Dengan tanpa nurani, Kepala Daerah di Lombok memaksa orang-orang Ahmadi diisolasi, pindah ke pulau kecil. Dengan tanpa rasa takut, FPI mengancam seorang Sultan HB X sang Gubernur DIY yang tak hendak mendiskriminasi warga negaranya, bahkan dengan ancaman akan melakukan sweeping ke aset-aset milik JAI di DIY.

Negara (Pemerintah Pusat, Kepala Daerah, Kepala Kepolisian, dan Kepala Tentara setempat) yang seharusnya melindungi mereka, menutup mata terhadap penindasan yang terjadi. Entah memang nurani mereka yang tumpul, atau karena paradigma yang tidak memadai, atau karena tersandera oleh politik kapital dan dukungan; sehingga mereka melupakan bahwa kewajiban mereka yang utama adalah melindungi setiap warganegaranya untuk mendapatkan hak-hak dasar di Indonesia, dengan menggunakan perangkat peraturan perundangan, dan perangkat penegak hukum.

Apa ujung dari segala “petualangan” bangsa Indonesia dengan negaranya akhir-akhir ini? Sejujurnya, saat ini kepada diri sendiri pun saya hanya bisa menjawab: entahlah. Sama seperti tak tahunya saya, bagaimana nasib warga sang kota kecil yang memiliki akuntan, orang keuangan, dan manager untuk mengelola jembatan, tapi kehilangan penjaga jembatannya…

Selasa, 12 Juni 2012

Tak Ada Yang Kebetulan


Dalam hidup tak ada yang kebetulan. Segala sesuatu dibuat untuk sebuah tujuan. Dari banci di perempatan, orang gila dipinggir jalan, pelacur di gang-gang, Tak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Hebatnya, Tuhan tak pernah pilih-pilih siapa yang akan dikasihi. Ia mengasihi semua.

Masalahnya aku terkadang melebihi Tuhan. Aku terlalu pemilih. Memilih siapa yang mau kukasihi dan mana yang tidak. Sampai di sini saya berpikir, yang Tuhan siapa, yang manusia siapa. 

Malam ini kalau berdoa, minta hati yang lebar untuk mengasihi. Selebar apa? silakan pilih saja. Saya sih mau selebar globe atau bola dunia. Eh, tunggu! Globe tidak lebar, ia bulat. Karena bagi saya, kamu adalah dunia saya.