Sabtu, 31 Desember 2011

Ayahanda

Manusia terhebat yang ku miliki. tepat berdiri bersandar dihati. aku adalah kebanggaannya, kebanggaanku adalah dia. tegap badannya melindungiku. panah doanya, menumpas musuhku. jika aku menghampirinya, ia akan berlari-lari menjemput aku. jika aku berpaling dari rindunya, ia akan menangis mengenang aku.

aura namanya adalah hasil keringat sepanjang hari. ia begitu murni, pemimpin sejati. pernah kakinya gemetar datang padaku, membawa lembar terakhir uang yang lusuh. jika aku tidak terharu, sudah buta hatiku. tawanya mengundang tangis. humornya begitu ekspresif. ia adalah komedian nomor satu idolaku, yang hanya ku dengar aksinya lewat cerita.

Hatinya begitu misterius tetapi tulusnya tak putus-putus. jika aku haus, diberinya ku minum. jika ku lapar, diberikannya ku roti. sungguh ia adalah dambaanku, dambaan kelak nanti, cucu -cucuku.

namanya seumpama bendera negeri. kata terindah yang berkibar di tiang tertinggi yang mengundang segala hormat untuk terpatri. menyebut kata “ayah”, adalah keberanian. mencintainya adalah kewajiban. “ayahku” adalah sebutan terdalam yang pernah kurasakan. ayah mewariskanku ilmu, darahnya di nadi, mendidik langkahku. entah aku berada di utara atau selatan, di langit atau di hutan,… mengatakan “aku anaknya!” adalah kalimat termewah bagi hidupku.

Syukurku karena Kau Kawan

Kiranya segala kebahagiaan yang aku dapat akan tetap membuatku ingat kepada kawan-kawan seperjuangan.

Aku dan Kata-kataku


Karena semua manusia itu berdosa, tidak ada satupun manusia yang sempurna di dunia ini. Termasuk aku. Jangan pikir kata-kataku sempurna, seakan bisa membelah bumi. Biarlah kata-kataku ada sebagaimana dunia bisa menjadi indah. Tetapi aku tidak menaklukkan wanita dengan kata-kataku, dan mengucapkannya seakan aku punya niat yang terselubung. Karena lebih dulu, kata-kata yang aku buat harus menaklukkan diriku sendiri.

Kekaguman


Aku kagum pada pengagum
Yang teriak di tempat persembunyiannya
Di sana tergantung bingkai yang terpaku
mungkin matanya adalah palu
sampai retak dinding bergetar
kekagumannya tak akan pudar

Aku kagum pada pengagum

yang pandai menyimpan rahasianya.

Kamis, 29 Desember 2011

Senyumnya Ibu


Seperti yang pernah aku katakan, senyum ibu adalah hal yang paling mendasar untuk melihat sesuatu yang lebih penting.

Lagu dan Kesedihanku


Beberapa lagu telah menegaskan kesedihanku. Seperti itukah para musisi menghias lukanya? Aku tak tahu.

Sajak Embun Pagi


Sebaik surya hangatkan dahan

elok embun legakan daun

sinar surya mekarkan bunga

tumbuhlah engkau dalam jiwaku!

Kesadaranku


Kepalaku semakin lincah dalam mengelak berbagai petuah bijak, namun tak cukup jeli melihat bebatuan di tengah jalan.

Ada Yang Harus Aku Mengerti


Ada orang bisa membawa mobil, tetapi tidak bisa membawa diri. Orang itu ugal-ugalan dan tidak patuh kepada rambu. Sama halnya pula, ada orang berjalan kaki, tapi bukan sedang berjalan-jalan. Ia hanya harus pulang dengan rasa keram pada lututnya.

Maka demikianlah aku lebih merasa beruntung ketimbang layak. Karena sering di dalam sekitaran hidupku, ada ketiadaan di dalam keberadaan.

Rabu, 28 Desember 2011

Love You're Self


Kau hanya terlalu keras berusaha menjadi orang hebat, sementara itu membuatmu semakin jauh dari diri sendiri. Kembalilah! Bagaimana orang bisa menyukaimu bila kau tidak menyukai dirimu sendiri?

Something I Want To


Maybe I‘ll find a beautiful opponent on the road, probably because I hit it at the time when I kept thinking about you.

But can I try to playing with a hurried away? Maybe it’s a better way for me to find you in good condition.

You just do not remember the moments when I did not loving you, so that you will always be the cutest tragedy in my love story.

Something,

I want to take you to my house, leads you to sit down, give you a drink, then tells the story of my life once again, while looking at you as nicely as possible.

Putri Dalam Dongeng


Bagai punuk rindu rembulan, aku hanya peribahasa. Namun mungil di dalam dongeng, itu engkau peri kecilku.

“Pilih mana, kekasih atau sahabat?”


Pilih Mana, Kekasih Atau Sahabat?

Acapkali aku mendengar suatu pertanyaan yang agaknya melayang khusus untuk mencobai kebijakanku. Sebuah pertanyaan tentang pilihan di antara dua hal yang sesungguhnya memiliki nilainya masing-masing dan bukan untuk dipertentangkan. Pada kesempatan ini, seperti biasa, tidak panjang aku membahas, tidak berat aku menjabar dan boleh juga untuk disimak. Begini,

“Pilih mana, kekasih atau sahabat?”

Pertanyaan yang tidak asing, bukan? :p Aku pernah ditanya dengan kalimat itu. Beberapa menganggap ini pertanyaan sulit. Tidak sedikit pula, ada yang ingin menobatkan dirinya sebagai sahabat sejati, kemudian ia menjawab dengan sangat yakin, “saya pilih sahabat! Karena pacar bisa dicari.”

Mungkin aku terbilang aneh, tapi inilah pemikiranku.

Kekasihku yang baik, ia tidak memiliki kekasih lain selain aku. Sedangkan sahabatku yang baik, ia punya banyak sahabat, aku hanya salah satunya. Maka bila aku berada di antara dua pilihan dan tidak ada pilihan lain selain memilih salah satunya, tanpa mengurangi rasa hormatku pada sahabat yang baik, kekasih yang baik yang aku pilih.

Selasa, 27 Desember 2011

Gambar Negaraku


Pedagang warteg: “Pesen apa, Mas?”

Mas Gayus: “Saya hanya ikan teri!”

Om Tiffatul: “Ikan teri, blackberry, semua sama! Tidak boleh berbau pornografi!”

Komentator Sepakbola: “Apa yang terjadi saudara-saudara…..?”

Veny Rose: “Apa-KAH (muncrat), Raul Lemos dan KD sudah menikah? Lalu bagaimana dengan nasib Aurel?”

Kedutaan besar Indonesia: “Kita serahkan kepada pemerintah Arab Saudi. Untuk sementara, Sumiati masih dirawat.”

Tukang parkir: “Terus.. terus.. terus..”

Yang Bisa Dengan Cinta


Cinta itu melempar imaji jauh melampaui langit, seperti kau bukan musisi, namun untuknya kau menulis sebuah lagu.

Jangan mengagumiku! Aku benci orang yang pintar.


Judul di atas adalah kalimat yang paling jahil yang pernah aku buat, di mana orang bisa menyangka aku orang yang congkak. Sesungguhnya aku, kamu dan mungkin kita semua, kita hanya masih harus belajar terus menerus, tapi ingat, jangan malas untuk berkarya sedari sekarang! Aku pribadi, aku pintar untuk menjadi bodoh, tetapi bodoh untuk merasa pintar.

Misteri Kaos Berkerah (Cerita Ringan)

Misteri Kaos berkerah, sebuah cerpen oleh zarry hendrik

Kaos hitam oblong dengan gambar Batman lagi memeluk Robin yang kupakai, sudah meluntur. Celana pendek tanpa kantong, membuatku menyelipkan selembar uang bernilai 10 ribu rupiah itu di celana dalam. Aku tidak pernah melepas gelang saat mandi, itulah mengapa tidak ada bedanya antara warna gelang yang kusam, dengan warna kulit tanganku yang belang. Dalam penampilan yang seperti ini, aku berdiri di depan pagar yang tinggi, menekan bel milik istana megah sang kekasih. Motor produksi Cina yang lampu sen kirinya rusak itu, kuparkir saja di pinggir jalan. Persis di samping pot raksasa yang terlihat lebih tertata rapi ketimbang rambutku yang membangkang. “Ting nong.. Ting nong..” Begitu suara bel-nya.

Ini pertama kalinya aku datang ke rumah Rini, kekasihku yang cantik. Aku tahu, penampilanku yang seperti ini akan menjadi fenomena. Tetapi apa yang bisa kuperbuat, bajuku yang lain masih basah karena terendam banjir yang melanda kota. Tidak ada maksud untuk meminta sumbangan. Pacarku memang kaya, tetapi rindu yang kurasa jauh lebih kaya raya darinya. Biarlah sekarang aku menjadi laki-laki, datang membawa kepalan rindu yang membabi buta.

Tiba-tiba sosok pria yang tinggi badannya lebih pendek dariku, datang membukakan gerbang. Meski lebih pendek, pria itu tetap terlihat lebih tua. “Cari siapa, Mas?” tanya-nya sopan. Bagus! Untunglah aku tidak dikira meminta-minta.

“Cari Rini, Mas. Rini-nya ada?” Begitu kataku, membalasnya dengan sama sopan. Aku tersenyum lebar, sambil merapi-rapikan rambut. Percuma, rambutku tetap terlihat seperti baru keluar penjara.

“Oh, Mbak Rini. Ada, ada. Silahkan masuk, Mas.” Ujarnya, mempersilahkanku masuk. Aku langsung mengajak motor sipitku itu masuk, ikut bersamaku. Pria itu, sepertinya tukang kebun. Karena kulihat ada selang yang panjang tergeletak pasrah memuntahkan airnya. Maka kutinggalkan motorku di pinggir gerbang garasi, kemudian aku melangkah menuju teras, mengikuti langkah pria itu.

“Mau minum apa, Mas?” Pria itu bertanya lagi.

“Ah, ga usah repot-repot, Mas. Sirup juga nggak apa-apa kok.” Aku menjawab. Seketika suaraku terdengar serak, seperti menahan dahaga akibat tersesat di gurun Sahara. Pria itu mengangguk, lalu masuk ke dalam. Untuk beberapa saat, aku sendirian.

Saraf Okulomotor bekerja dengan baik saat ini. Menggerakan bola mataku ke segala arah. Sungguh, pemandangan rumah megah ini sudah terlihat indah meski hanya aku baru duduk di teras luar. Berbeda dengan rumahku, yang terlihat di depan teras hanyalah Vikki, anjingku yang sudah lama menjanda. Itupun beserta “ranjau darat” buatan Vikki yang entah kenapa, aku terus yang jadi korbannya. Tertawa geli sendiri jika aku mengingatnya. Di hadapanku sekarang, terdapat banyak tanaman-tanaman yang tidak murah. Ditata rapi oleh tangan yang teliti, terawat sekali. Melintang ke sebelah kanan, aku melihat ada sebuah kandang burung beo. Burung itu berkicau sesekali. Sepertinya belum pandai bernyanyi. Beo yang pendiam, persis seperti Rangga di “Ada Apa Dengan Cinta.” Burung itu menarik perhatianku. Aku berdiri, menghampirinya.

“Rangga, Rangga? Krrrr, krrrr…” Kujentikkan jemariku di dekat burung beo itu. “Rangga… ada gossip lho. Masih ingat Cinta? Cinta khan sudah menikah. Cukuliiiiin….” Sambungku sambil tertawa-tawa sendiri. Akan tetapi Rangga, burung beo yang baru saja sembarang kukasih nama itu, tidak menggubrisnya. Mungkin dia tersinggung, karena tatap mataku yang tajam ini, mirip Nicholas Saputra. Biar saja! Keberadaan burung beo ini cukup menghiburku. Mengisi waktuku sambil menanti Rini, kekasihku yang mungkin keluar dengan busana terbuka. Hehehehe.

Tiba-tiba ada yang batuk. “Uhuk.” Aku tidak mengenal suara batuk siapa itu, yang jelas aku tahu batuk itu berasal dari belakangku. Nah, sirup-nya datang. Aku menggosok-gosok celanaku, siap memegang gelas dan menenggaknya tanpa ampun. “Sebentar ya, Rangga. Nicho minum sirup dulu, nanti kita main lagi.” Aku berpamitan pada burung beo. Gila! Namun, setelah aku menengok, ternyata bukan sirup yang datang. Tapi,

“Sore, Om.” Aku terkejut. Gila! Badan tinggi besar, memakai celana pendek dan kaos berkerah putih yang bertuliskan KELUARGA BESAR MABES POLRI, berdiri di depanku. Itu ayah Rini. Seketika, aku menyapanya, tidak sempat membaca doa.

“SORE!” Jawabnya singkat, tegas. Seperti suara pemimpin upacara bendera pusaka di perayaan HUT RI yang pertama. “Cari Rini?” Tanya-nya kepadaku lagi, menatap dengan mata curiga.

Sial! Cari siapa lagi kalau bukan cari Rini. Dasar tukang tilang! Jika tidak mencari Rini, masa aku disini mencari gara-gara. Tidak mungkin pula jika aku menjawabnya, bahwa aku sedang mencari sesuap nasi. Namun jika sekarang aku berhadapan dengan sosok ayah pacar seperti ini, lebih baik aku mencari tali tambang lalu gantung diri. “MAMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…..!” Teriakku dalam hati.

“Iya, cari Rini, Om.” Jawabku singkat, lemah gemulai.

“Teman sekolahnya, Rini?” Tanya-nya lagi.

Sejak kemunculannya dengan kaos mengerikan itu, aku sudah mengira bahwa siang ini aku akan diguyur hujan pertanyaan. Sungguh aku ingin menjawab bahwa aku bukan teroris, tetapi aku takut. Aku takut kalau beliau tahu bahwa aku belum punya SIM. Sekarang aku bingung mau jawab apa, karena aku bukan teman sekolahnya Rini. Aku pacarnya Rini, pacar sekolahnya. Demi cinta monyetku pada Rini, tidak sekalipun aku mengakuinya sebagai teman. Meski dihunus pedang, ditodong pistol atau diancam ketapel, tetap aku akan mengakui bahwa “Aku adalah pacarnya Rini.”

Sambil meremas-remas bajuku, aku menjawab, “Saya pacarnya Rini, Om. Hehehehe.”

“PACARNYA?!!!!” Om itu kaget. Terdengar dari reaksi volume suaranya yang menggelegar. Reaksi yang mirip dengan ucapan “SIAP, GRAKKK!!!”

Apa jawabanku tadi salah? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya melotot, memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung aspal. Aku tidak bergerak sama sekali. Aku takut tiba-tiba Om itu mengeluarkan Shotgun, lalu memasukkan moncongnya ke mulutku. Atau kemungkinan yang paling realistis adalah, aku diusir dari rumahnya karena penampilanku mirip dengan mantan narapidana.
Karena takut, aku berkata terbata-bata : “Baru 3 hari jadian, kok Om. Belum saya apa-apain. Demi Tuhan!” Keningku berkeringat. Punggungku seperti terpanggang, mataku berair, pipiku merah, hidungku bengkak, bibirku pecah-pecah, rambutku belum keramas, bahkan bulu kakiku merinding.

“3 HARI? BELUM KAMU APA-APAIN? EMANG MAU DIAPAIN? AWAS MACAM-MACAM SAMA RINI! NANTI KAMU SAYA PENJARA!” Ujarnya.

Seakan ketika alam mendengar perkataannya, angin berhembus kencang. Meniup daun-daun gugur dan mengoyang-goyangkan pohon beringin. Di belakang Om itu, kulihat sirup sudah diletakkan di atas meja. Sungguh, aku ingin meminumnya, sebentar. Tenggorokanku semakin kering dibentaknya seperti itu. Andai aku boleh mengarang, aku akan menjawab, “PAPA SAYA KETUA KPK! AYO, SERAHKAN DAFTAR REKENING OM!” Namun sayang, aku hanyalah anak seorang janda, ayahku entah dimana.

“ASTAGA, OM TEGA BENER! YA ENGGAKLAH OM! “ Begitu kataku. Susah payah aku menahan kaki yang hendak bergetar-getar. Gempa dasyat mengguncang nyaliku.

Tiba-tiba, di waktu yang genting itu, malaikat penyelamat datang. Rini, dengan rambutnya yang masih basah, datang. Sambil menyisir-nyisir rambutnya, Rini memanja kepada ayahnya. Begini,

“Eh, eh, eh…. Uda kenalan. Gimana? Pacarku ganteng, khan?”

Mendengar pernyataan itu, seakan seisi Taman Safari muntah-muntah. Sungguh, aku tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan ayah Rini, setelah mendengar ucapan Rini barusan. Sepertinya tipis kemungkinanku sampai rumah dalam keadaan sehat selamat. Kemaluanku pasti mau diborgol, sementara mulutku disumpal sepatu ABRI. Sungguh, aku takut sekali. Rini, aduh……… :(

Namun situasi mendadak mencengangkan, ketika ayah Rini berkata.. “Iya. Ganteng!” Siapa yang tidak terkejut mendengarnya, ternyata ayah Rini juga menyimpan rasa padaku, sejak pertama kali berjumpa. #PRAAAKKKK! Tidak mungkin begitu! Aku menebaknya sebagai ucap kata yang berfungsi menjaga perasaan Rini, anak perempuan kesayangannya, satu-satunya. Meski lega, namun aku tetap berhati-hati.

“Rini, mama mana?” Om galak itu, bertanya pada Rini. Sementara aku diacuhkan.

“Di atas. Mau aku panggilin?” Jawab Rini.

“Ya Tuhan! Jangan tinggalkan aku sendiri lagi dengannya Rini! Nanti aku bisa dimasukkan ke kandang Rangga, burung pendiam itu. Tetaplah disini, please, please, please, love and gaul!” Jerit ratapku dalam hati.

“Iya, tolong panggil mama. Kenalkan juga sama pacarmu ini!” Kata Om itu.

Huaaaaaaaaaaaaaaahhhhh….! Muncul di kepalaku sosok berkonde, dengan sebuah keris sedang menodong ketekku. Matilah aku, matilah aku!

“Siap bos. Pasti mau ngomongin tanaman lagi.” Jawab Rini, patuh. “Tunggu sebentar ya, Sayang.” Sambung pesannya terlempar ke telingaku. Rini pun pergi. Tinggal kita ber-4 ; Aku, Ayah Rini, Rangga Si burung beo dan segelas sirup.


“NAMA KAMU SIAPA? TINGGAL DI MANA? ASLI MANA? ITU MOTOR KAMU? SUDAH PUNYA SIM? BAPAK KERJA DIMANA? SAMPAI TERJADI APA-APA SAMA RINI, LIHAT SAJA!”


Begitulah berondong peluru tanya yang dilesatkan Om itu tepat di depan jidatku. Aku menjawab semua pertanyaan sulit itu, dengan berpura-pura meyakinkan. Padahal, sebentar lagi aku ngompol. Ini pelajaran, lain kali jika mau ke rumah pacar untuk pertama kalinya, aku harus memakai popok. Aku tahan sekuat tenaga rasa kebelet itu. Rasa gugup yang sama jika harus berpidato tentang 4 sehat 5 sempurna di hadapan suku kanibal.

“INGAT, SAYA TIDAK MAU DIA PUNYA PACAR ANAK BERANDALAN MACAM KAMU!” Sambungnya lagi. Tidak lama, Rini dan Ibunya datang.

“Owalaaaaaa, ini toh…” Suasana meramai, sekotak es batu terbelah.

Ibu Rini menunjuk-nunjuk wajahku sambil tertawa. “Siapa namanya?” Sambung ibu itu bertanya padaku. Sedangkan ayah Rini, melangkah menuju kandang Rangga, mungkin memeriksa kesehatan burung beo.

“Zerry, tante.” Jawabku sopan, tetapi masih gugup.

“Ooooo, Jerry. Duduk nak, duduk.” Ibu itu mempersilahkanku duduk.

Rini ikut duduk di sebelahku, sedangkan ibu sempat melihat tanaman sebentar, lalu pamit masuk ke dalam. Ayah Rini beranjak mendekati motorku. Mati aku! Semoga Om itu tidak melihat bahwa kaca spionnya retak. Sesekali ia melirik ke arahku dengan tatapan menusuk. Untung bola mataku tidak bocor. Namun suasana agak mereda setelah itu. Aku dan Rini dibiarkan mengobrol. Padahal aku masih dalam keadaan gugup, meskipun aku berusaha menutupinya di depan Rini. Perlahan tapi pasti, kuteguk sirup itu untuk menenangkan. Sekitar 10 menit aku dan Rini berbincang-bincang, Om itu kembali cari gara-gara.

“Jelly, pinjam motornya!” Tawarnya, namun seakan mengancam.

“Hihihihihihi, emang bisa bawa motor?” Rini yang bodoh itu, malah tertawa geli.

“Aku mau denger suara mesinnya aja, Rin.” Jawab Om itu, pura-pura senyum.

“Boleh, Om.” Aku menyerahkan kunci motorku.

“BRUAAAAAAAAM…….. BRUAAAAAAM….. BRUAAAAAAAAAAAM……” Gas motorku digeber-geber ala pembalap liar yang sedang menguji motornya di bengkel. Tidak lama, mesin motornya dimatikan lagi. Om itu menghampiriku, menyerahkan kunci motorku. Tatapannya masih sama, tidak berubah. Arti tatap itu kemungkinannya hanya dua ;

1. Om itu membenci penampilanku
2. Om itu menyimpan rasa padaku.

Setelah itu, ayah Rini mengambil selang lalu memilih untuk menyiram tanaman. Melihat jarak yang jauh antara aku dan ayah Rini, kemudian aku berbisik…

“Rini, mama kamu asik ya..”

“Iya, mama emang asik.”

“Tapi, papamu galak ya.”

“Hiihihihihihihi..”

“Kok ketawa? Galak tau!”

“Ituuuuuuuuuuuu, Om Wahyu! Dia tukang kebun, tapi uda kayak sodara. Bukan papaku. Papa khan lagi tugas, sayang. Galak ya Om Wahyu? Emang gitu, orangnya. Hehehehe….”


7 kepiting mendadak menstruasi, 5 cacing tanah breakdance, 13 kecoa memakai helm, 6 cicak minum baygon dan 34 ikan hiu, memakai behel. Aku? STROKE!!!!


#GUUUBRRRRRRAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK………..!!!!

Ada Rahasia Tuhan Dibalik Kekurangan


Sebuah cerita tentang cinta yang tuna netra, yang akhirnya mendapat sumbangan mata. Di detik pertama ia melihat, berdiri di depannya berbagai macam godaan. Banyak.

Marahmu


“Aku cukup kreatif untuk membuatmu marah, dan kemudian memikirkanku sepanjang malam.”

Untuk Kau


“Kau menyayangiku sebatas teman, aku menemanimu di batas sayang.”

Teruntukmu Kaum Wanita


Kenakan jilbabmu dan jangan menyesalinya!
Seperti purnama berlapis langit berbintang-bintang, demikian bersinar akhlak yang seangkasa.

Permohonan


Bisakah kau?

Sebentar saja!

Untukku.

Meski bukan tentang aku.

Dimanapun


Di bawah angin, aku masih tidak percaya.

Di atas bumi, aku masih harus bersyukur.

Di depan pintu, aku masih harus bersabar.

Di balik mata, aku masih harus berlari.

Di tengah cinta, aku masih harus merenung.

Di dalam hati, aku masih mendoakanmu.

Aku Ingin Aku


Aku ingin ditalipitakan Tuhan di hari ulang tahunmu. Aku ingin jadi sepatumu yang kamu kenakan, yang membuatmu tampak semampai, meski harus kau lepas saat naik ke tempat tidur. Jika kau tak marah, aku juga ingin mencicip bedak yang melekat pada wajahmu dengan kecupan. Dan lagi, akupun ingin jadi motormu, meski sering tak sengaja kau bawa aku menghajar lubang, namun aku tetap menunggumu di tempat parkir, dan aku terkunci aman.

Sayang, aku ingin jadi Facebookmu, tempatmu bercerita tentang apapun. Aku ingin jadi bacaanmu, sesuatu yang tidak kamu lupa saat kamu merasa sepi. Aku ingin jadi charger handphone-mu, sesuatu yang sering kau cari-cari. Aku ingin jadi apapun asal kau senyum.

Kadangkala, aku teringat hal-hal kecil, sampai aku ingin kita melahap nasi Padang bersama-sama, sampai aku menjadi kagum pada sebutir nasi yang menempel di dagumu. Dan aku ingin menatap matamu saat kita duduk di dalam angkot, kemudian ibu-ibu di sebelahmu menjadi ingat masa mudanya.

Tetapi entah kapan kau butuh aku, lalu kapan kau cari aku, dan sampai kapan kau begitu? Aku hanyalah sebutir pasir di pinggir pantai, dan telapak kakimu saja yang aku rindukan. Aku menyapa, sesekali aku melucu. Kau tahu? Aku telah banyak mencari cara agar setidaknya bisa melintas di kepalamu.

Bagaimana caranya kita tahu kita sedang jatuh cinta?


Kau tahu apa itu jatuh cinta? Bila jatuh bukanlah terbang, maka cinta adalah sayap. Tanpa cinta, seseorang akan benar-benar jatuh, dan pasti itu benturan keras. Ia terluka, parah, dan bisa jadi penyakit. Jatuh cinta adalah kehinggapanmu. Bila ada luka karena cinta, kau hanya kebetulan hinggap di ranting yang rapuh. Tetapi cinta membawa kesembuhan, di mana karena rindu engkaupun bangkit.

Apa aku berbelit-belit? Mungkin aku hanya tidak tahu apa yang aku katakan, sementara jari seakan kejang, menekan huruf gila-gilaan. Maka sederhananya, untuk mengetahui jatuh cinta atau tidak, kau hanya perlu berdoa lagi.

Cintaku Untuk Tuhanku


Apa arti Tuhan di mataku? Seindah-indahnya mataku, aku tak cukup layak mengartikan-Nya. Karena Tuhan adalah Tuhan. Ia sungguh berarti lebih dari segala arti yang bisa aku artikan.

Jangan Tuhan mencemburuiku karena aku mencintaimu, bahkan yang lebih parah, menganggap aku menduakan-Nya! Kepada Tuhan aku menyerahkan hidupku, masak hati tidak kuberikan. Karena Tuhan yang penuh kasih itu telah menciptakan cinta, maka siapa aku yang menciptakan cinta menurut aku sendiri?

Sebuah Nasehat

Cinta itu tidak sekadar rasa yang sama-sama dirasakan, lalu selesai. Ada dasar untukmu membinanya bak bahtera. Dengan mudah akan runtuh semua yang telah kau persiapkan, bila hanya dengan berpikir semesra mungkin.

Berdoalah dengan berpegang teguh pada pengharapan! Mungkin ini terdengar kolot, tetapi aku masih percaya bahwa doa adalah satu yang paling mampu menguatkan manusia.

Aku selalu mendoakan kekasihku, bahkan saat kami sedang bertengkar.

Senin, 26 Desember 2011

Peluk Tererat


Matanya pernah berkaca-kaca, kemudian menangis dalam dekapan hanya karena akhirnya menjumpaiku. Bagaimana aku tidak merindu? Sering kukatakan padanya, “Sempatkan diri memeluk aku! Karena nanti, ada banyak waktu untuk aku mengingatmu dari kejauhan.”

Aku pikir ada benarnya. Jika memang nasib harus diadu, semoga ia bisa bersabar di atas tanah! Tidak lelah sebut namaku, di dalam doa dan pula hati! Mendampinginya itu inginku, menemaninya itu harapku. Bila tak erat waktu mengikat hati, biar ia memegang saja jerit hati yang syukurnya mampu terucap jelas, bahwa kepadanya aku kembali. Demikian sesaat sebelum aku pergi, akan kukatakan padanya dengan membisik.

“Kekasih, kaulah peluk tererat yang aku harap sebelum melangkah! Aku mencintaimu.”

Bintangnya Ayah

Aku membayangkan dua bintang yang bercahaya di atas aku, itu tatap bangga sesosok ayah, terang cinta yang seangkasa. Tetiba hamparan sinar yang berkumpul di langit membuatku ingat tetes keringat ayah, itu bebutiran terang tentang betapa aku anaknya yang nakal ini begitu penting bagi hidupnya.

“Kaulah ayahku, tidak ku malu mengakuinya!”

Biar gemetar dua kakiku saat menjauh dari pesannya. Karena beliau ayah yang aku hormati, yang tak terukur jasa-jasanya! Apapun yang akan aku lakukan, aku mengingat ayah, lagi sebagai panutan aku berjuang, pula idola yang kusayangi. Sesungguhnya aku ingin menjadi alas bagi beliau ayahku yang membanting tulang, sementara matanya melotot supaya aku rajin sekolah.

“Wahai ayah yang ibu cintai, kepala keluarga yang aku dengarkan, tebal terpahat di dinding hati, nama yang besar dan itu engkau.”

Senyum Ibu

Ada di balik tatapan ibu, itu adalah aku yang tak pernah dipandangnya buruk. Meskipun karena nakalnya aku, berkaca-kaca matanya itu. Juga kulihat kerut pada kening ibuku, itu ulahku yang sering membuatnya memikirkan hari depanku sepanjang malam. Ibu biasa duduk menungguku pulang. Saat larut malam ibu sudah menguap, namun kantuk tidak melenyapkan aku dalam benaknya.
“Ibu, senyummu adalah hikmat untuk aku melihat sesuatu yang lebih penting, dengan lebih dekat. Kaulah syukur yang tak pernah aku usaikan!”

Wanita Harus Tau


Meski suka sekali disentuh, pria bukanlah mahluk yang super-super peka. Jadi jangan sekali-kali kau membiarkannya dengan ketidaksadarannya. Sentuhlah telingannya dengan kalimat brilliant, sentuhlah matanya dengan tatapan yang dalam dan sentuhlah badannya agar tidak ada wanita lain yang berani memegang! Ketidakpercayaan bukanlah tempat untuk memenjarakan. Egois? Iya. Tetapi egoisitasnya tidak lebih kuat dari air mata kaum hawa. Pria adalah penakut. Takut ketahuan, takut kehilangan. Adalah pujian untuknya, jika kata-katanya mau dipegang.
Hai wanita, adalah suatu kelebihan jika kau hanya sampai dipredikat “mudah sakit hati”. Karena pada dasarnya, pria malah mudah sekali mati. Ia lebih baik disiksa kicauan siang dan malam, daripada dihajar oleh kesunyian. Karena sekali dihajar, pria langsung bisa terbaring dibawah tegak batu nisan.

Jadi berapa kali dalam semalam wanita menjadi gelisah tentang keberadaan kekasihnya? Ya ya ya, gelisah yang ringan tentang kekuatiran bahwa dia bebas melakukan hal yang macam-macam. Tengok Pria! Jika wanita melakukan hal yang sama, pria tidak mau pasrah, tidak hanya gelisah, juga marah. Ia akan mencarimu sampai ke antah berantah. Dipikirannya bukanlah rasa takut pada penghianatan, tetapi sebuah teori yang mengatakan bahwa wanita adalah mahluk lemah yang selalu diincar godaan.

Sekarang tunjuk tangan jika ada yang merasa hatinya retak terpukul perbuatan pria! Okay, kamu! Lihatlah, jika kau melakukan perbuatan yang sama terhadapnya! Apa yang hati retak itu bisa melihat jari tangan pria yang mengacung, mengaku kalah? Tidak? Ya, kau pasti hanya melihatnya tetap girang. Sekarang jangan bilang siapa-siapa! Di dalam sakunya, tersembunyi telapak tangan yang meremas kepingan hatinya yang terus menerus merasa bersalah. Kecerobohanmu dianggap sebagai kelalaiannya. Jadi tidak heran, jika seuntai tawa hanyalah sebuah benteng gengsi yang tanpa celah sampai-sampai kesedihannya menjadi tak kasat mata.

Memang aneh jika pria suka pada kebebasan, sekaligus rindu pada mulut cerewet yang cemburuan. Jadi demi menghindari suara hantu yang memanggang kepalamu yang melayang. Aku menerawang.
“Wanita, kau hanya perlu mengenalnya dalam-dalam”.

Ini bukanlah ajakan untuk anda berpikir tentang siapakah yang paling lemah. Tetapi tentang mengapa Adam dan Hawa harus saling menjaga, saling menguatkan.